Kekurangan Dokter: Masalah Jumlah atau Distribusi, dan Segenap Permasalahanya

Keberadaan dokter masih menjadi salah satu masalah utama kesehatan di daerah. Masih ada puskesmas yang belum memiliki tenaga dokter. Pelayanan kesehatan maksimal tentu masih jauh dari harapan. Jangankan pelayanan dokter spesialis, dokter umum pun masih sangat kurang kalau tidak mau dikatakan tidak ada.
Di belahan indonesia bukan hal yang aneh jika pelayanan kesehatan di Puskesmas hanya dilakukan oleh perawat atau bidan. Jika puskesmas tidak memiliki tenaga dokter, seperti kita tahu puskesmas itu mencakupi satu wilayah kecamatan, artinya di satu kecamatan tersebut tidak ada satu orang pun dokter yang akan memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat.

Namun, apa yang kita lihat di kota-kota besar justru sebaliknya. Tiap sudut jalan bahkan kita bisa menemukan tempat praktik dokter. Dimanapun berada fasilitas kesehatan yang begitu mudah dijangkau. Ada perbedaan yang begitu signifikan. Antara langit dan bumi. Antara gajah dan semut. Rasio jumlah dokter dengan masyakat di daerah dibandingkan di kota memiliki perbedaan begitu besar. Daerah-daerah kekurangan dokter. Kota justru sebaliknya, mereka bisa dikatakan kelebihan dokter.

Hal yang menarik untuk ditelusuri, apa sebenarnya yang menjadi masalah utama yang menyebabkan masalah ini tidak kunjung selesai. Saya pikir tidak hanya saya yang terpikir akan masalah ini, sudah banyak pemangku kebijakan yang memikirkan  dan mencoba dengan berbagai solusi. Akan tetapi hasilnya apa yang kita lihat hari ini. Terjadi perubahan, tapi masih jauh dari kata ideal. Justru dalam beberapa hal terjadi perburukan.  Dokter-dokter semakin tertarik untuk mengabdikan ilmunya di kota besar dengan berbagai alasan seolah yang tidak bisa dicegah.

Jumlah dan distribusi yang tidak merata
Data dari kementrian kesehatan menunjukan sebagian besar dokter berada di pulau jawa. Dari yang ada di pulau jawa tersebut sebagian besar ada di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Data dari Kolegium Kedokteran Indonesia pada bulan Agustus 2010 menunjukan bahwa jumlah dokter di Indonesia ada 72.094 orang.  Jumlah ini masih kurang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 238 juta jiwa. Untuk mencukupi rasio dokter dan masyarakat yang minimal masih diperlukan 23 ribu dokter lagi. Namun dari segi jumlah sepertinya bukan masalah besar. Dengan 72 fakultas kedokteran yang ada saat ini diperkirakan ada 5000 lulusan dokter setiap tahunnnya. Melihat kondisi ini maka dalam waktu lima tahun dari 2010 maka seharusnya jumlah dokter Indonesia sudah cukup. Namun yang jadi masalah besar adalah pemerataannya.

Data dari Badan Pembangunan Nasional tahun 2012 menyebutkan rasio dokter per 100.000 penduduk di Indonesia adalah 18,5. Dibandingkan dengan negara lain tentu jumlah ini masih jauh dari cukup. Kita negara tetangga Malaysia, data dari Pusat Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Kementrian Kesehatan tahun 1997 rasio dokter per 100.000 penduduk ada 65,5 orang, Jepang 193,2 orang, Australia 240 orang. Kita tidak akan membahas masalah jumlah ini lebih lanjut. Kita fokuskan pada masalah pemerataan distribusinya.

Data dari Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Badan Perencanaan Nasional tahun 2005 menunjukan dua per tiga dokter spesialis berada di Jawa dan Bali. Dari total sekitar 10.000 dokter spesialis di Indonesia, 3500 orang ada di DKI Jakarta. Bandingkan dengan Provinsi Bengkulu, Bangka Belitung, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimatan Tengah, Maluku, Sulawesi, jumlah dokter spesialis di masing-masing provinsi kurang dari 100 orang. Bahkan Provinsi Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat memiliki jumlah dokter spesialis kurang dari 30-40 orang. Kita bisa bayangkan bagaimana kesenjangan pelayanan kesehatan di masing-masing daerah tersebut.

Begitu juga dengan distribusi dokter umum, memiliki komparasi yang tidak jauh berbeda. Dua pertiganya dari total jumlah dokter di indonesia ada di pulau Jawa dan Bali. Kolegium Kedokteran Indonesia pada Agustus 2010 melalui situs berita DPR RI mengatakan 30 % Puskemas tidak memiliki tenaga dokter terutama di daerah sulit.   

Lebih jauh lagi jika melihat rasio dokter gigi, data dari Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia mengatakan 70-80 % dokter gigi ada pulau Jawa, sementara dokter spesialis gigi 90 % ada di pulau Jawa.
Data-data ini membuat kita terhenyak sekaligus berpikir, 67 tahun Indonesia merdeka masih banyak atau sebagian besar penduduk Indonesia belum mendapatkan pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan yang layak.

Analisa penyebab
Saya akan mencoba menganalisa berdasarkan pemikiran bodoh saya tentang terjadinya masalah ini. Menurut saya ada beberapa hal yang mendasar yang sangat sulit dan berpengaruh besar terhadap perburukan masalah ini. Kita kesampingkan dulu masalah lain yang terlihat besar dan biasanya menjadi sorotan, seperti kesenjangan tunjangan kesejahteraan antara daerah dan kota, kondisi geografis daerah-daerah terpencil yang sulit, kondisi sosial daerah, fasilitas daerah yang menunjang perkembangan pendidikan, keluarga, karir yang masih terbatas, maupun kondisi keamanan dan kenyamanan yang berbeda antara daerah dan kota.

Ada beberapa hal mendasar jika hal ini tidak diperbaiki maka cita-cita pemerataan jumlah dokter di wilayah Indonesia akan sulit dicapai. Masalah ini dilihat dari cikal bakal orang-orang yang akan menjadi dokter. Masalah mendasar ini jika ditemukan solusinya, maka masalah yang menjadi sorotan tadi akan lebih mudah untuk diselesaikan. Berikut adalah paparan tentang analisa tersebut:

1.    Sebagian besar mahasiswa kedokteran memang berasal dari kota-kota besar
Kesulitan daerah terutama daerah terpencil untuk mengakses pendidikan kedokteran masih menjadi masalah utama. Persaingan untuk masuk fakultas kedokteran yang begitu berat akhirnya hanya membuat siswa yang bisa masuk ke fakultas ini hanya berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki standar pendidikan yang cukup baik. Dan lagi-lagi sekolah itu ada di kota besar. Akibatnya dari tahun ke tahun, mahasiswa di tiap fakultas kedokteran di dominasi oleh “anak-anak kota”. Di kampus saya, UNPAD, lebih dari setengah jumlah mahasiswa satu angkatan berasal dari SMA kota Bandung dan Jakarta.

Bisa diperkirakan sebagian besar dari mahasiswa-mahasiswa ini ketika mereka lulus nanti menginginkan untuk tetap bekerja di Bandung dan Jakarta. Ditambah lagi dengan mahasiswa-mahasiswa daerah yang sudah terlanjur nyaman dengan suasana kota akhirnya jadi ikut enggan untuk kembali ke daerahnya. Jika kondisi ini tetap dipertahankan maka tujuan pemerataan akan sulit dicapai. Meskipun pemerintah membuat kebijakan mewajibkan lulusan fakultas kedokteran untuk mengabdi beberapa tahun di daerah, kebijakan ini hanya akan bersifat sementara. Selesai masa pengabdiannya, dokter-dokter yang memang berasal dari kota besar ini akan kembali ke kota besar dengan berbagai alasan yang tidak bisa kita pungkiri. Setiap orang tentu ingin kembali ke tempat ia dibesarkan, apalagi di kota besar yang menjanjikan segala fasilitas kenyamanan.

Berapa banyak dari “mahasiswa kota” ini yang mau bekerja di Papua, Maluku, Gorontalo, atau Bengkulu? Dari sekian banyak itu berapa lama mereka mau bertahan?
Tidakkah akan berbeda jika mahasiwa calon dokter itu memang berasal dari daerah tersebut?

2.    Biaya kedokteran yang semakin mahal.
Biaya masuk fakultas kedokteran saat ini, terutama di universitas swasta atau jalur khusus universitas negeri, bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta. Siapa yang bisa menjangkau biaya ini tentu orang-orang yang berasal dari keluarga yang lebih dari mampu. Darimana orang-orang ini berasal? Kita bisa jawab sendiri. Lagi-lagi kita akan mendapatkan jawaban bahwa orang-orang ini berasal dari kota. Kalaupun ada anak-anak daerah yang bisa menjangkau ini jumlahnya masih sedemikian kecil. Akibatnya tidak jauh berbeda dengan masalah yang pertama. Kebijakan bagaimanapun dari pemerintah tanpa memperhatikan masalah-masalah prinsip yang mungkin terkesan sederhana ini tidak akan menyelesaikan akar permasalahan.

3.    Motivasi dan idelisme yang kurang dihargai
Dari sekian banyak jumlah dokter ini, tentu ada yang mau mengabdikan dirinya untuk mengabdikan diri ke daerah atau kembali ke daerahnya. Namun bak dayung tidak bersambut, keinginan dan idealisme orang-orang yang memiliki motivasi ini jadi perlahan luntur ketika masalah sepele (bisa dikatakan dimikian) tidak terpenuhi. Tentu bukan pengorbanan yang kecil jika ada orang-orang yang dilahirkan di kota, sudah terbiasa hidup di kota dan dibesarkan di kota, keluarga besarnya juga di kota, harus meninggalkan itu semua dan pindah untuk bekerja ke daerah. Hal-hal seperti ini kurang mendapat perhatian dari yang berwenang. Mereka dibiarkan hidup sendiri. Seolah dokter yang butuh hidup bukan yang berwenang ini butuh pelayanan kesehatan yang memadai untuk masyarakatnya. Keberadaan mereka sebagai tenaga ahli tidak mendapat penghargaan yang layak. Masalah kesenjangan kebijakan ini, sebagai manusia yang memiliki segala keterbatasan, membuat mereka lagi-lagi enggan untuk bertahan lama dan memilih untuk kembali ke kehidupan mereka yang dulu, kota.

Pada prinsipnya, masalah yang mendasar setiap orang ingin kembali dan berada di tempat ia dibesarkan. Atau setidaknya ke tempat yang memiliki kenyamanan yang sama dengan itu yang mendukung masa depannya, karirnya, pengabdiannya, pendidikannya, dan terutama keluarga dan keturunanya. Dokter juga sama. Dokter juga manusia. Maka selama “anak-anak daerah” itu tidak memiliki akses dan kesempatan yang sama, maka masalah ini akan terus berlanjut tanpa penyelesaian, tetap kusut tidak bertemu ujungnya. Karena satu hal, terlepas dari harapan masih banyak idealime dari dokter-dokter untuk mengabdi ke daerah, dokter-dokter yang berasal dari daerah lah yang bisa diharapkan untuk kembali ke daerahnya.

Apapun itu sebagai dokter atau calon dokter kami hanya bisa bergumam, kembalikan ke diri masing-masing. Tanya pada idealisme yang ada di relung hati meskipun sekilas tampak mereka yang berwenang itu hanya sekedar memanfaatkan idealisme ini untuk kepentingan mereka, bukan untuk kita.

Aku ada bukan untuk diriku

Disaat orang-orang sibuk memikirkan dirinya sendiri, masih banyak orang-orang di luar sana sampai tidak bisa tidur karena memikirkan nasib orang lain.

Disaat orang-orang sibuk untuk memperkaya dirinya sendiri, masih banyak diluar sana orang-orang yang rela tidak makan agar melihat orang lain bisa ikut merasakan enaknya nasi dan lauk seperti yang pernah ia rasakan.

Disaat orang lain bercita-cita bagaimana dan seberapa besar dirinya kelak, masih ada orang-orang yang bermimpi dan memiliki cita-cita besar untuk kebermanfaatan dirinya bagi orang lain.

Disaat yang lain berpikir bagaimana sibuknya ia untuk keperluannya saat ini dan nanti di masa depan, masih banyak yang menyibukan diri untuk berbagi dan mencukupi kebutuhan saudaranya sesama makhluk tuhan.

Waktu yang kita punya sama. Ada yang menggunakannya hanya untuk dirinya. Namun, tidak sedikit yang berjuang untuk menyisihkan waktu yang ia punya agar bermanfaat bagi orang lain. Ia meletakan tanggungjawab dirinya untuk orang lain sebagai prioritas utama diatas apapun. Ia ada bukan untuk dirinya tapi untuk orang lain.

Hidupnya bukan untuk dirinya sendiri, ada hak orang lain yang perlu ia tunaikan. Memang bukan kewajiban tapi keharusan bagi mereka yang membuka hati. Bahwa masih banyak orang lain yang butuh uluran tangannya, tenaganya, waktunya, dan segala yang ia punya.

Inpirasi Berantai

Kesuksesan dan kesenangan seorang pekarya adalah ketika melihat orang lain terinspirasi atau tersentil untuk buat karya lebih baik karena karyanya

Puncak Gunung Geulis, 18 Maret 2012

Bervisi Tiada Henti


Kehidupan akan terhenti ketika kita sudah merasa cukup dengan pencapaian tertentu.

Hidup tanpa keinginan, tanpa hasrat, tanpa tujuan, dan tidak ada lagi yang ingin dicapai ibarat mayat yang berjalan mengikuti kegiatan harian manusia.

Apatis, Tidak Peduli

Setiap orang punya ladang kebermanfaatan sesuai potensinya masing-masing. Semua orang berhak memilih setiap jalannya dengan tanggungjawab dan konsekuensi yang mungkin terjadi mengikuti itu. Tidak ada pilihan yang salah ketika seorang memutuskan untuk bergerak. Yang salah itu yang diam yang tidak peduli. Apatis.