Intelektual: Berpikir

Orang cerdas akan melihat segala sesuatu yang ia terima itu salah,lalu ia BERPIKIR,barulah memutuskan apakah sesuatu itu benar-benar salah atau suatu kebenaran..

Tidak ada satupun yang masuk kedalam pemahamannya melainkan melalui sebuah proses,yaitu BERPIKIR..

Media sebagai penggiring opini masyarakat

Media merupakan corong penyampai informasi utama kepada masyarakat. Dengan kemajuan teknologi media telah menyajikan informasi dengan cepat dan mudah diakses kapan dan dimana saja. Kemajuan teknologi di bidang informasi ini juga telah menyediakan berbagai fasilitas untuk mendapatkan informasi secara cepat, mulai dari media cetak hingga media elektronik, dari komputer hingga handphone dengan bermacam bentuk modifikasi. Semua bentuk media ini memberikan kemudahan yang luar biasa terhadap komunikasi informasi bahkan dalam hitungan menit hingga detik kita sudah bisa mendapatkan informasi yang kita inginkan.

Dari berbagai bentuk media, media elektronik saat ini sedang mencapai puncak kejayaannya. Televisi dan internet menduduki peringkat puncak sebagai penyampai informasi utama kepada masyarakat. Teknologi telah merubah segalanya menjadi serba cepat dan mudah. Dalam hitungan detik kita bisa mengetahui peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain. Tidak perlu lagi waktu yang lama untuk bisa mendapatkan berita. Teknologi elektronik telah berkembang sedemikian rupa sehingga daerah terpencil sekalipun minimal akan mendapatkan informasi dari televisi.

Saat ini, televisi menjadi satu-satunya pintu masuk informasi yang paling intens ke semua daerah terutama ke daerah-daerah terpencil. Kita tahu bahwa daerah terpencil sudah barang tentu juga memiliki pendidikan yang rendah. Hal ini membuat mereka menerima mentah-mentah apa yang disampaikan oleh televisi. Tidak hanya itu anak-anak dan orang yang berpendidikan rendah juga menjadi korban informasi yang disampaikan oleh televisi. Bisa dikatakan media elektronik terutama televisi telah memegang kendali informasi yang sampai kepada masyarakat. Apa yang disampaikan di televisi terhadap suatu isu akan menjadi cara pandang mereka terhadap isu tersebut.

Bisa kita ambil contoh berita tentang skandal kasus Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari. Bahkan anak SD pun tahu tentang kasus ini. Hal ini terjadi karena televisi begitu sering menguak berita ini bahkan hampir tiap jam di hampir semua stasiun televisi. Bisa disimpulkan masyarakat tahu karena ada televisi. Ironisnya informasi ini juga diketahui oleh orang-orang yang tidak perlu tahu informasi ini terutama anak-anak. Mereka hanya menjadi korban terhadap keserakahan media yang ingin mengejar rating.

Kasus Ariel hanya menjadi salah satu contoh penggiringan isu kepada masyarakat. Masih banyak contoh lain bagaimana media telah merubah paradigma masyarakat terhadap suatu isu. Mulai dari isu yang baik hingga ke yang paling buruk. Sayangnya media ini tampaknya lebih suka memberitakan hal-hal yang berbau negatif. Mungkin ini sesuai dengan prinsip jurnalistik yang berbunyi, Bad news is a good news. Ironis memang, sebagai corong “pendidik” masyarakat, dengan kewenangannya media justru mendidik masyarakat menuju hal-hal yang negatif.

Media berhasil membentuk paradigma masyarakat terhadap seseorang, suatu bangsa, dan juga suatu Negara. Masyarakat akan mendefinisikan Negara kita ini sesuai dengan apa yang mereka lihat ditelevisi. Jika yang diberitakan hal-hal baik maka masyarakat akan mengartikan Indonesia menjadi sesuatu yang baik dan begitu juga sebaliknya. Terlalu berat memang, tetapi begitu lah kenyataan yang terjadi di lapangan. Bisa kita ambil contoh besar, di zaman Soeharto masyrakat menilai bahwa pemerintahan itu baik karena pemberitaan tentang hal-hal yang buruk itu diredam. Padahal kita tahu bahwa pemerintahan Soeharto tidaklah seperti yang kita lihat, banyak kekurangan-kekurangan yang justru menggerogoti masyarakat. Coba bandingkan dengan sekarang, paradigma masyrakat terhadap pemerintah begitu buruk. Itu terjadi karena pemerintah tidak lagi bisa membatasi pemberitaan di media atas nama demokrasi. Media bebas membeberkan apa saja “seenak hati” mereka. Padahal kalau dilihat pemerintahan sekarang tidaklah seburuk zaman Soeharto bahkan bisa dikatakan lebih baik.

Sebaik apapun seseorang atau suatu rezim jika yang diberitakan ditelevisi hanya sisi buruknya maka masyarakat akan menilai seperti itu, berlaku juga sebaliknya. Coba anda bayangkan ketika yang diberitakan di televisi hanya berita tentang kemiskinan, kelaparan, kemacetan, kesemrawutan jakarta, keburukan pemerintah, berita kriminal, maka masyrakat akan memberikan penilaian seperti itulah Indonesia. Padahal kita tahu bahwa yang diberitakan itu hanya sekian persen berita dari sekian banyak yang baik lainnya. Tapi ketika kebaikannya tidak diangkat orang hanya akan memiliki paradigma buruk. Contoh berita anjloknya prestasi Indonesia dibeberapa bidang seperti sepak bola atau bulu tangkis diangkat sedemikan rupa sedangkan berita prestasi anak muda kita seperti misalnya juara olimpiade sains internasional jarang sekali diangkat menjadi berita yang hangat. Akhirnya masyarakat memiliki paradigma bahwa Indonesia buruk dan itu sungguh tidak memotivasi. Alih-alih meningkatkan prestasi yang terbentuk di masyarakat justru pesimisme. Mungkin anda sering mendengar ungkapan seperti ini, “ah Indonesia” , “begitulah Indonesia” , dan ungkapan lainnya. Dan itu diucapkan oleh orang Indonesia sendiri. Ironis bukan? Siapa yang menjadikannya seperti ini, menurut saya media memiliki tanggungjawab besar atas semua ini.

Tidak hanya itu, media bahkan mampu menggeser nilai yang ada didalam masyarakat. Media bisa merubah secara perlahan tapi pasti penilaian masyarakat terhadap sesuatu. Contoh, wanita yang cantik itu harus berkulit putih bersih, berambut hitam panjang, berbadan langsing dan tinggi, itu menurut iklan alat-alat kosmetik dan kecantikan. Dan masih banyak contoh lainnya.

Perlu kita pahami juga bahwa segala sesuatu tidak hanya terdiri dari keburukan atau hanya kebaikan. Segala sesuatu akan terdiri dari dua hal tersebut. Kembali lagi kepada bagaimana kita mengartikannya dan menggunakannya untuk apa. Jika digunakan untuk kebaikan maka akan menghasilkan sesuatu yang baik. Bahkan ketika digunakan untuk kebaikan pun masih ada yang menangkapnya buruk, apalagi kalau sudah digunakan untuk keburukan. Media sebagai pendidik masyarakat harus menjalankan perannya sebagai pendidik dalam arti yang sebenarnya. Harus ada perbaikan signifikan terhadap media di Indonesia terutama infotainment sebagai acara televisi yang memberitakan figur-figur yang menjadi panutan masyarakat. Kalau tidak ada perubahan dan terus-terusan seperti ini akan jadi apa Negara kita ini dan apa kata dunia?

Jika seseorang menguasai media maka dia telah menguasai dunia, sebuah ungkapan.

Macet, salah nya siapa?

Macet telah menjadi masalah besar bagi kota-kota besar. Hampir semua kota-kota yang tumbuh akan merasakan masalah ini,kecuali jika perkembangannya sudah diantisipasi sejak awal mula kota itu mulai tumbuh. Jakarta adalah salah satu kota itu. Kota yang merupakan potret Indonesia ini sekarang diprediksi akan lumpuh total beberapa tahun mendatang jika tidak ada tindakan penanggulangan signifikan untuk mengatasinya.

Sebenarnya ini bukannya hanya masalah Jakarta sebagai ibukota Negara kita, tapi kota-kota besar lain di Negara lain juga pernah atau sedang mengalami masalah yang sama. Bedanya mungkin mereka lebih cepat bertindak dengan solusi yang tepat guna sedangkan pemerintah kita mungkin baru menyadarinya. Ketika Negara lain sudah terbebas dari masalah ini pemerintah kita masih kewalahan untuk menghadapinya. Disini muncul pertanyaan apakah solusi dari pemerintah kita yang kurang tepat atau masyarakat kita yang tidak mau kompromi. Saya pribadi mencoba untuk melihat masalah ini dari kedua sisi. Menurut saya kedua komponen ini terlibat banyak sebagai penyebab dari masalah ini. Dan saya lebih menitik beratkan penyebab masalah ini ada di masyarakat. Disini kita bukan mencari kambing hitam terhadap masalah yang sudah muncul ini melainkan sebagai generasi muda mencoba untuk mencari solusi bersama.

Di satu sisi kita memang akan melihat masalah ini ada pada pemerintah. Tapi, apa salah mereka jika semua fasilitas sudah disediakan. Setiap tahun ada proyek pelebaran jalan, pembuatan jalan baru, dan sekarang sudah ada busway. Tapi nyatanya setiap tahun jalan raya justru semakin macet. Apakah jalan yang dibuat kurang lebar atau armada busway kurang banyak atau mungkin masyrakat kita yang hatinya terlalu sempit. Semua masalah yang terjadi seolah salahnya pemerintah tapi pernahkah kita introspeksi diri. Ketika jalan diperlebar bukannya makin lancar ternyata justru semakin macet karena jumlah kendaraan pribadi bertambah drastis. Ketika busway diadakan dan jalan khusus dibuatkan tetapi malah digunakan untuk kendaraan pribadi. Ketika rambu lalu lintas dibuat hanya untuk dilanggar dan patuh hanya jika ada polisi. Masihkah pemerintah yang salah?

Sungguh miris rasanya melihat statistik jumlah kendaraan yang ada di Jakarta. Jumlah kendaraan pribadi(mobil dan motor) mencapai 95% dari total kendaraan yang ada di ibukota Negara kita ini,sisanya baru kendaraan umum. Dan jumlah penumpang yang diangkut oleh oleh kendaraan pribadi hanya 40% saja, sisanya sekitar 60% penumpang diangkut oleh hanya 5% kendaraan umum. Kondisi yang sungguh berbanding terbalik. Jumlah kendraan pribadi begitu banyak tapi orang yang diangkut begitu sedikit. Artinya badan kendaraan pribadi ini hanya membuat penuh jalanan. Sangat miris lagi ketika mendengar berita yang mengatakan bahwa panjang jalan yang ada di Jakarta lebih pendek dibandingkan panjang semua mobil yang ada di kota ini. Tetapi yang disoroti pemerintah yang masih kurang menambah panjang jalan. Kenapa perntanyaan tidak dibalik, mengapa masyarakat selalu menambah mobil sedang ada fasilitas umum yang bisa digunakan.

Saya kaget ketika ada teman yang baru balik dari jepang. Dia bercerita bahwa dia dari suatu tempat ke tempat lain harus jalan kaki dalam jarak yang cukup jauh, tidak ada angkot apalagi becak atau ojek. Semua orang membudayakan jalan kaki menuju tempat pemberhentian kendaraan umum walaupun itu cukup jauh. Bandingkan dengan di mayarakat kita yang menjadikan tempat halte busway yang jauh(padahal tidak terlalu jauh) sebagai alasan untuk tetap menggunakan kendaraan pribadi. Kalaupun tidak menggunakan kendaraan pribadi masyarakat akan mengunakan motor atau angkot yang membuat penuh jalan. Sudahlah jumlahnya sangat banyak dijalanan juga ugal-ugalan seenak hati. Lampu merah diserobot, rambu lalu lintas diabaikan, yang ada hanya bagaimana caranya agar mereka bisa cepat sampai tujuan tanpa memperhatikan orang lain.

Saya menyoroti masalah ini ada pada ekonomi, ekonomi yang rendah dan ekonomi yang naik daun. Ekonomi yang rendah membuat masyrakat menjadikan jalanan sebagai mata pencarian,baik sebagai supir angkot dan tukang ojek dalam jumlah yang sangat banyak. Ekonomi yang naik daun membuat masyarakat berlomba-lomba untuk memperlihatkan diri bahwa diri mereka mampu membeli mobil. Tidak ada yang salah memiliki mobil, yang salah adalah ketika disatu rumah punya tiga sampai empat mobil, satu anak satu mobil. Kendaraan umum seperti tabu bagi mereka. Kondisi seperti inilah yang menjadikan jalan raya menjadi penuh melimpah hingga suatu saat diprediksi jalan raya di kota-kota besar Indonesia akan lumpuh total.

Masalah ini tidak akan selesai dengan penambahan ruas atau lebar jalan selama masyarakatnya masih suka menambah kendaraan pribadi, selama pemerintah tidak menyediakan fasilitas kendaraan umum yang memadai, selama pola pikir masyarakat masih tidak mau rendah hati untuk menggunakan fasilitas umum, dan selama lapangan pekerjaan masih sedikit. Mari bersama mencari solusi.